Karena penasaran dengan sejarah dan budaya Tionghoa di Jakarta–mumpung beberapa waktu lalu lagi panas isunya–maka saya ikut Chinatown Walking Tour, tur jalan kaki yang super seru dan “gemuk pengetahuan” bersama Jakarta Good Guide.
Jalan Kaki Bareng Jakarta Good Guide
Siang itu, kami berkeliling Chinatown atau pecinan yang berada di daerah Glodok, Jakarta Barat. Karena namanya walking tour, jadi peserta tur sama sekali tidak naik kendaran alias full jalan kaki!

Rumah Mayor Tionghoa Batavia di Antara Bangunan Megah

Tur dimulai dari pelataran Hotel Novotel Gajah Mada. Di sana, terdapat sebuah rumah Tionghoa yang dulunya adalah milik mayor Tionghoa Batavia. Rumah dengan dua patung ayam di atapnya ini bernama Candra Naya, salah satu cagar budaya yang dilindungi pemerintah. Seperti rumah pada umumnya, di teras depan terdapat pagar pendek dan pintu utama yang tinggi. Kemudian, ada ruang tamu serta ruang tengahnya juga.
Khusus di ruang tengah, atapnya terbuat dari kaca dengan naga-naga kecil tergantung di langit-langit. Di bagian belakang rumah terdapat kolam teratai yang cukup besar dan tempat tinggal kura-kura sebagai simbol keberuntungan.

Karena sudah menyatu menjadi bagian dari hotel dan apartemen, bangunan di samping rumah Mayor Khouw Kim An kini disulap menjadi restoran atau kafe. Meskipun begitu, suasana Tionghoa tidak berkurang ketika memasuki kompleks bersejarah ini.
Mencicip Teh Gratis di Pantjoran Tea House


Jalan-jalan dilanjutkan ke Pantjoran Tea House yang terletak tepat di seberang Pusat Belanja Glodok, berjarak 550 meter dari Candra Naya. Menurut Huans, pemandu tur pecinan kemarin, gedung ini dulunya adalah apotek bernama Aphoteek Chung Hwa saat Jakarta masih bernama Batavia. Yang unik dari tempat yang sekarang berupa restoran ini adalah enam teko teh di depan pintu masuk. Sejak zaman dulu, teko-teko ini memang sengaja disediakan untuk para penjaja dagangan yang kehausan. Katanya, dulu sulit sekali mencari tempat yang menjual air minum di sekitar Glodok. Budaya ini sudah ada sejak zaman Kapten Tionghoa Gan Djie (tahun 1928), sampai menjadi apotek milik Lin Che Wei, dan masih dilestarikan hingga sekarang.
Nggak kalah dengan kafe hipster Jakarta, restoran ini punya interior yang vintage dan keren banget. Lantai bermotif, lampu-lampu bohlam yang menggantung rendah, dan lukisan kawasan Glodok jadul membuat tempat ini nyaman dan adem ditongkrongi berjam-jam. Di lantai dua terdapat beberapa bilik khusus khas restoran Tionghoa dan bisa disewa. Karena agendanya hanya jalan kaki, tidak ada yang sempat saya cicipi di sini, kecuali teh gratis yang rasanya mirip teh tubruk Jawa tanpa gula.

Ingar-Bingar Pasar Petak Sembilan

“Kalau turis, sukanya jalan-jalan ke pasar gini, nih,” kata Huans ketika ditanya mengapa tur ini melewati pasar tradisional yang ingar bingar. Di Petak Sembilan, segala macam hal tersedia; mulai dari kebutuhan rumah tangga, makanan, hewan peliharaan, bahan masakan, kain batik Tionghoa, banyak banget pokoknya. Yang paling menyita perhatian kemarin tentu saja binatang-binatang yang dijual, salah satunya adalah katak untuk bahan masakan dan burung kecil–untuk dilepas sebagai simbol seseorang menjadi vegetarian. Karena saat itu masih pukul 09.30 pagi, pasar Petak Sembilan masih ramai dengan koko dan cici yang berbelanja. Kawasan ini sering dilewati sepeda motor dan banyak genangan air di jalannya, jadi disarankan untuk tidak pakai sepatu putih, ya.
Vihara Tertua di Batavia
Ada beberapa tempat ibadah yang disambangi selama tur jalan kaki ini. Tapi yang paling berkesan buat saya adalah Vihara Dharma Bhakti yang merupakan vihara tertua di Jakarta. Alasan pertama karena takjub dengan kokohnya bangunan meski pernah dilahap api tahun 2015 lalu. Meski kerangka bangunan sudah menghitam bekas terbakar, vihara ini masih kokoh berdiri. Kerangka bangunan sampai saat ini belum diganti karena merupakan kerangka asli sejak vihara berdiri.

Kedua, tentu saja karena vihara “surga” dan “neraka” yang unik dan cuma satu-satunya di Jakarta. Keduanya adalah tempat untuk berdoa; berdoa di dalam “neraka” agar dilindungi dari neraka dan berdoa di dalam “surga” untuk memohon kebahagiaan atau kemakmuran. Waktu saya ke sana, di dalam “neraka” agak gelap dan sedang tidak ada orang, sedangkan di “surga” lebih terang dan adem dengan puluhan lampion harapan yang digantung di langit-langit.


Tak Kie, Es Kopi Legendaris di Gang Gloria

Kabarnya, es kopi Tak Kie merupakan salah satu es kopi paling terkenal seantero Jakarta, lho. Selain karena sudah berdiri sejak 1927, rasa kopinya memang tak perlu diragukan lagi. Enak! Kalau lihat dari foto-foto yang terpajang, kedai es kopi ini memang tidak berubah sejak zaman dulu. Ketika masuk dan duduk dengan peserta tur lain, saya tidak bisa untuk tidak merasa seperti sedang berada di film aksi Tiongkok. Mungkin karena kedainya yang seperti rumah plus banyak pengunjung keturunan Tionghoa di sini. Kalau kamu mau mencicip es kopi ini, datanglah ke Gang Gloria. Selain es kopi Tak Kie, di gang ini juga ada Gado-Gado Direksi, Mie Kangkung Si Jangkung, Rujak Shanghai, dan lain-lain.

Es Kopi Tak Kie menjadi destinasi terakhir perjalanan Chinatown Walking Tour kami. Setelah menyusuri jalan sepanjang kurang lebih 2 kilometer, tur berakhir di ujung Gang Gloria. Selama perjalanan, saya nggak merasa capek, malah lebih banyak kagum dan senangnya.

Tur jalan kaki ini membuat saya merasa seperti turis asing di Jakarta, rumah saya sendiri. Saya berjalan kaki ikut pemandu, mendengarkan penjelasan tentang sejarah dan budaya Pecinan Jakarta, melihat sisi lain kota Jakarta, sekaligus dapat teman baru.
Kalau kamu ingin ikut tur jalan kaki juga, silakan lihat dan daftar di situs resmi Jakarta Good Guide. Selain tur Pecinan, mereka juga punya tur jalan kaki ke Kota Tua, Menteng, dan kawasan bersejarah lain di Jakarta.
—
Baca juga:
– 5 Perpustakaan Pewe di Jakarta Ini Ternyata Dikelola Negara