Desa Tenganan tak habis-habisnya memikat pengunjung dengan budaya dan adat istiadatnya. Desa ini adalah satu dari desa Bali Aga – desa yang masih mempertahankan pola hidup dan tatanan masyarakat warisan nenek moyang – selain Trunyan dan Sembiran.
Kalau tempat wisata lain di Bali sudah ramai dengan hotel dan kafe, Desa Tenganan seperti enggan beranjak dari gaya hidup bersahaja. Peraturan adat desa yang disebut awig-awig sudah tertulis sejak abad ke-11 dan terakhir diperbarui pada tahun 1842. Walaupun menerima sarana modern seperti listrik, Desa Tenganan tetap bertahan dengan tiga balai desa serta rumah adat yang masih dihuni penduduk.
Bagi yang sudah pernah ke Desa Tenganan, pasti familiar dengan kain geringsing. Selain kerajinan tangan bernilai tinggi tersebut, Desa Tenganan juga populer di kalangan pecinta budaya karena tradisi Perang Pandan yang rutin diselenggarakan setiap bulan ke-5 kalender Tenganan (Mei atau Juni).

Bulan tersebut adalah waktu diselenggarakannya Usabha Sambah, upacara menuju kedewasaan bagi remaja Desa Tenganan. Kalau yang laki-laki menjalankan tradisi berperang dengan pandan berduri, lain lagi dengan perempuannya. Gadis Tenganan yang beranjak dewasa harus menaiki ayunan besar yang terbuat dari kayu.

Prosesi ayunan biasanya diselenggarakan setelah Perang Pandan selesai. Delapan gadis Desa Tenganan yang disebut daha duduk di atas ayunan dengan mengenakan kain tradisional berwarna keemasan. Ayunan yang diletakkan di halaman desa tersebut digerakkan oleh dua orang pemuda. Prosesi ayunan ini melambangkan kehidupan yang terus berputar, kadang di atas, kadang di bawah.

Ayunan besar yang digunakan dalam prosesi tersebut adalah warisan nenek moyang yang tidak boleh sembarangan dimainkan. Setelah dipasang, ayunan harus diupacarakan terlebih dahulu.
Baca juga:
– Tradisi Syukuran Hasil Panen