Jika ada lagu anak-anak yang menyatakan nenek moyangku orang pelaut, mungkin pernyataan itu paling tepat jika disampaikan oleh orang-orang Suku Bajo. Bukan hanya nenek moyang mereka orang pelaut, sampai sekarang pun, suku ini masih berhajathidup dan bermatapencaharian dari laut.
Mereka sering disebut sebagai gipsi laut atau nomaden laut. Ada juga yang menyebut bahwa tanah asal mereka adalah Kepulauan Sulu, Filipina Selatan karena ada kemiripan antara bahasa mereka dengan bahasa Tagalog.
Di Indonesia, Suku Bajo atau Bajau tersebar di berbagai provinsi di Sulawesi. Situs resmi pariwisata Indonesia mencatat bahwa orang-orang suku Bajo hidup di sekitar Taman Nasional Kepulauan Togean. Di Sulawesi Selatan, sudah ratusan tahun mereka tinggal di pesisir Teluk Bone.
Selain hidup di sekitar Taman Nasional Kepulauan Togean, masyarakat suku Bajoe tersebar di hampir setiap provinsi di Pulau Sulawesi. Di Sulawesi Selatan, pemukiman suku Bajoe terpusat di Kelurahan Bajoe, Kabupaten Bone. Orang Bajoe di wilayah ini tinggal di kawasan sepanjang pesisir teluk Bone sejak ratusan tahun silam. Ada empat pulau di Sulawesi Tengah yang menjadi tempat tinggal Suku Bajo. Di Gorontalo, mereka bermukin di sepanjang pesisir Teluk Tomini.
Bahkan Labuhan Bajo di NTT diambil dari nama suku tersebut, menandai bahwa mereka juga sampai di kawasan ini dan samapai ke Timor Barat, Nusa Tenggara Barat, Sumbawa, sampai ke Madura.
Pada sebuah seminar tentang diaspora suku-suku Austronesia yang berlangsung pertengahan Maret lalu, ada beberapa hipotesa yang muncul tentang asal-usul Suku Bajo tapi belum ada yang memuaskan.
Ada yang menyebut dari Johor, ada yang menyebut dari muara Sungai Barito lalu pindah ke Sulu, Filipina dan kembali menjelajah, atau malah keturunan dari Dayak Manyaan.
Lewat foto-foto ini, kita bisa melihat sekelumit dari keseharian orang-orang Suku Bajo. Ikan yang mereka tangkap untuk makan atau untuk dijual ditangkap menggunakan bubu.
Seorang nelayan suku Bajo menaikkan Bubu ke atas perahu di perairan Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Sabtu (23/5). Bubu atau perangkap ikan terbuat dari kawat ini adalah alat tangkap yang ramah lingkungan digunakan nelayan tradisional Bajo. ANTARA FOTO/Ekho Ardiyanto/ed/nz/15Seorang nelayan suku Bajo menaikkan Bubu ke atas perahu di perairan Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Sabtu (23/5). Bubu atau perangkap ikan terbuat dari kawat ini adalah alat tangkap yang ramah lingkungan digunakan nelayan tradisional Bajo. ANTARA FOTO/Ekho Ardiyanto/ed/nz/15
Mereka juga punya keramba untuk ikan bobara yang kemudian dipanen dan hasilnya dijual di Kota Kendari. Sayangnya, mereka juga menangkap penyu hijau untuk dijual dagingnya.
Nelayan suku Bajo memeriksa keramba miliknya di Desa Bajo Mekar, Konawe, Sulawesi Tenggara, Minggu (10/5). Ikan Bobara atau jenis ikan putih bibitnya diambil para nelayan Bajo di laut lepas dan dipanen setelah satu tahun itu dijual dengan harga Rp 40 ribu perkilogram di Kota Kendari. ANTARA FOTO/Ekho Ardiyanto/ed/pd/15
Sejumlah nelayan memindahkan Penyu Hijau (Chelonia mydas) dari atas perahu di Desa Bajo Indah, Konawe, Sulawesi Tenggara, Minggu (10/5). Kurangnya pengawasan serta sosialisasi kepada nelayan tentang undang-undang perlindungan Penyu yang spesiesnya hampir punah, kerap dijadikan tangkapan untuk dikonsumsi dan diperdagangkan. ANTARA FOTO/Ekho Ardiyanto/ed/pd/15Sejumlah nelayan memindahkan Penyu Hijau (Chelonia mydas) dari atas perahu di Desa Bajo Indah, Konawe, Sulawesi Tenggara, Minggu (10/5). Kurangnya pengawasan serta sosialisasi kepada nelayan tentang undang-undang perlindungan Penyu yang spesiesnya hampir punah, kerap dijadikan tangkapan untuk dikonsumsi dan diperdagangkan. ANTARA FOTO/Ekho Ardiyanto/ed/pd/15
Pendidikan anak Suku Bajo pun tampaknya belum tersentuh oleh sekolah resmi. Malah ada lembaga swadaya masyarakat yang memberi pendidikan lewat sekolah maritim untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Sejumlah anak Suku Bajo berangkat menuju Sekolah Maritim Bajo yang terletak di Desa Bajo Mekar, Konawe, Sulawesi Tenggara, Minggu (3/5). Sekolah maritim yang dibuat secara swadaya oleh lembaga Bajo Bangkit ini menggunakan keramba sebagai ruang belajar yang bertujuan mengajarkan kepada anak Bajo tentang pengenalan tumbuhan mangrove, hewan yang dilindungi dan bagaimana menjaga kelestarian lingkungan sejak dini. ANTARA FOTO/Ekho Ardiyanto/Rei/nz/15.Sejumlah anak Suku Bajo mengikuti proses belajar di Sekolah Maritim Bajo, Desa Bajo Mekar, Konawe, Sulawesi Tenggara, Minggu (3/5). Sekolah maritim yang dibuat secara swadaya oleh lembaga Bajo Bangkit ini menggunakan keramba sebagai ruang belajar yang bertujuan mengajarkan kepada anak Bajo tentang pengenalan tumbuhan mangrove, hewan yang dilindungi dan bagaimana menjaga kelestarian lingkungan sejak dini. ANTARA FOTO/Ekho Ardiyanto/Rei/nz/15.
Tradisi unik lainnya yang terlihat di sini adalah saat khitanan. Anak-anak Suku Bajo dipakaikan busana khas Arab dan perhiasan emas lalu diarak keliling kampung. Menurut laporan ANTARA, tradisi ini sudah turun temurun dilakukan sejak masa nenek moyang mereka dulu.
Tiga anak suku Bajo berbusana arab sebelum diarak keliling kampung Desa Mekar, Konawe, Sulawesi Tenggara, Minggu (26/4). Tradisi mengarak anak suku Bajo yang mengenakan busana arab dan memakai perhiasan emas pada acara khitanan itu telah ada dan turun temurun sejak nenek moyang mereka dulu. ANTARA FOTO/Ekho Ardiyanto/ss/Spt/15 *** Local Caption ***Tiga anak suku Bajo digendong untuk diarak keliling kampung Desa Mekar, Konawe, Sulawesi Tenggara, Minggu (26/4). Tradisi mengarak anak suku Bajo yang mengenakan busana arab dan memakai perhiasan emas pada acara khitanan itu telah ada dan turun temurun sejak nenek moyang mereka dulu. ANTARA FOTO/Ekho Ardiyanto/ss/Spt/15 *** Local Caption ***