Tahun 1979 ratusan ribu warga Vietnam eksodus akibat perang saudara. Kampung Vietnam di Pulau Galang menyimpan jejak pengungsian yang memilukan tersebut.

Pulau Galang merupakan bagian dari otonomi Kota Batam. Pulau seluas kurang lebih 80 km² ini menjadi salah satu lokasi persinggahan pengungsi perang saudara di Vietnam. Ratusan ribu warga meninggalkan negaranya untuk menyelamatkan diri dengan mengarungi lautan menggunakan perahu-perahu yang kondisinya memprihatinkan. Satu perahu diisi antara 40-100 orang.

Selama berbulan-bulan mereka terombang-ambing di perairan Cina Selatan tanpa tujuan yang pasti. Banyak korban berjatuhan di tengah perjalanan. Hingga akhirnya mereka terdampar di beberapa tempat, salah satunya Indonesia. Pulau Galang dan Tanjung Pinang adalah dua daerah tempat mereka berlabuh.

Pengungsian besar-besaran ini mendapat sorotan. Dunia mengenal para pengungsi tersebut dengan sebutan ‘manusia kapal’. Badan PBB yang mengurus persoalan pengungsi, United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), dan juga pemerintah Indonesia akhirnya turun tangan. Akhirnya terciptalah sebuah kesepakatan untuk menjadikan Pulau Galang sebagai tempat penampungan sementara bagi lebih dari 250.000 pengungsi.

Berbagai sarana dan prasarana dibangun guna menunjang kelangsungan hidup para pengungsi, seperti barak pengungsian, rumah sakit, tempat ibadah, sekolah.

Keberadaan mereka dikonsentrasikan di satu area untuk mempermudah pengawasan, serta untuk mencegah penyebaran penyakit kelamin Vietnam Rose yang kemungkinan diderita oleh pengungsi.

Sepanjang tahun 1979-1996, tempat ini tempat mereka melanjutkan hidup, sebelum akhirnya dipulangkan ke negara asal atau mendapat suaka dari negara-negara maju.

Sejak 1996 lokasi penampungan ini dinyatakan sebagai wilayah konservasi dan terbuka bagi masyarakat umum yang ingin mengunjungi “museum” yang keberadannya tetap dilindungi oleh pemerintah Indonesia. Lokasi tersebut kini lebih dikenal oleh warga sekitar sebagai Kampung Vietnam.

Pengunjung masih dapat melihat beberapa monumen dan sisa peninggalan lain di lokasi pengungsian ini. Saat baru memasuki pulau, pengunjung akan disambut Patung Kemanusiaan atau Taman Humanity. Patung ini dibangun untuk mengenang peristiwa tragis yang pernah terjadi di lokasi ini. Seorang pengungsi perempuan yang bernama Tinh Han Loai bunuh diri karena tak kuat menanggung malu usai diperkosa oleh sesama pengungsi.

Yang memprihatinkan, pemerkosaan bukanlah satu-satunya tidak kriminal yang pernah terjadi. Pencurian dan pembunuhan juga pernah dilakukan oleh para pengungsi. Untuk itulah sebuah penjara dibangun untuk menampung para pelaku kriminal, dan juga para pengungsi yang mencoba melarikan diri. Selain itu, bangunan penjara ini juga difungsikan sebagai markas satuan Brimob Polri yang bertugas di pulau ini.

Tak jauh dari Patung Taman Humanity, terdapat area pemakaman Ngha Trang Grave. Sekitar 500 pengungsi Vietnam yang wafat karena berbagai penyakit atau usia tua dimakamkan di sini. Sanak keluarga dari yang meninggal sesekali datang ke Pulau Galang untuk berziarah.

Salah satu bangunan yang dapat memberikan gambaran jelas mengenai kehidupan pengungsi di tempat ini adalah bekas kantor UNHCR. Di sini tersimpan foto-foto kehidupan pengungsi, terdapat foto seribu wajah pengungsi yang pernah tinggal di pulau ini. Kini gedung tersebut berubah fungsi menjadi pusat informasi bagi pengunjung.

Di kawasan ini juga terdapat tiga buah perahu yang dulu digunakan para pengungsi saat meninggalkan Vietnam. Pada tahun 1996, perahu-perahu ini sempat ditenggelamkan oleh para pengungsi sebagai bentuk protes atas keputusan UNHCR dan pemerintah Indonesia yang ingin memulangkan sekitar 5.000 pengungsi yang tidak lolos tes untuk mendapatkan kewarganegaraan baru. Selain menenggelamkan, para pengungsi yang marah tersebut juga membakarnya. Namun akhirnya oleh pemerintah otorita Batam perahu-perahu tersebut diangkat ke daratan, diperbaiki, dan diperlihatkan ke publik untuk mengenang perjuangan dan penderitaan para pengungsi. Perahu-perahu tersebut kini dikenal sebagai Monumen Perahu.

Sebagai sarana beribadah, beberapa rumah ibadah turut dibangun di kawasan ini, seperti Vihara Quan Am Tu, gereja Katolik Nha Tho Duc Me Vo Nhiem, gereja Protestan, dan mushola. Kondisi seluruh rumah ibadah terjaga dengan baik, dan dapat digunakan oleh para pengunjung.

Vihara Quan Am Tu terlihat mencolok karena dicat berwarna-warni sehingga mudah dikenali. Di dalam vihara terdapat tiga patung berukuran besar dengan warna-warna yang tak kalah mencolok. Salah satunya adalah patung Dewi Guang Shi Pu Sha. Di bagian kakunya terdapat plakat yang menerangkan kekuasaan dewi ini, diantaranya dapat mendatangkan keberuntungan dan jodoh, memberikan keharmonisan rumah tangga, serta mengabulkan cita-cita bagi anak-anak. Bagi yang permohonannya ingin terkabul, dapat memanjatkan harapan serta melemparkan koin ke arah patung dewi. Di depan vihara terdapat patung naga yang seolah menjaga ketiga patung tersebut, serta patung Buddha tidur yang disakralkan.

Kampung Vietnam di Pulau Galang berlokasi sekitar 50 Km dari pusat Kota Batam. Untuk menuju tempai ini, pengunjung dapat berkendara dan menyeberang Jembatan Barelang yang menghubungkan Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru. Jika malas berkendara sendiri, pengunjung dapat pula menggunakan angkutan umum Metro Trans rute Jodoh – Galang dengan tarif mulai dari Rp 5.000.

Jam operasional: Senin – Jumat Pk. 07:30 – 16:30, Sabtu, Minggu & Hari Libur Pk. 07:30 – 17:30
Harga bea masuk: Rp 5.000 per orang (+ Rp 25.000 per mobil)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *